Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
iklan space 728x90px

Selendang Ibu

Satu jam telah berlalu semenjak Ainun menunggu Ibu pulang. Ainun memainkan selendang merah muda milik Ibu yang tergeletak di lantai ruang tengah. Dia mengelus perlahan selendang Ibu. Matanya sedikit berkaca saat tahu di hadapannya hanyalah selendang bukan Ibu yang sedang dia tunggu.

Ibu selalu memakai selendang saat pergi ke mana pun. Di lemari pakaiannya, banyak sekali selendang yang dibeli sebulan sekali di toko langganannya. Dilihat darimana pun, Ibu memang mengistimewakan selendangnya.

Ainun tak pemah tahu, kapan tepatnya Ibu mulai menyukai selendang. Sepertinya memang begitu saat seseorang mulai mencintai sesuatu lupa diri. Bahkan Ibu, menjadi uring-uringan jika semua selendang miliknya sedang dicuci. Ibu rela memakai selendang setengah basah walaupun bau apek dan membuatnya masuk angin. 

Akhir-akhir ini, dia selalu penasaran kenangan apa yang membuat Ibu mencintai selendang-selendangnya. Namun, saat rasa penasarannya menyeruak dan bertanya. Ibu hanya tersenyum dan merapikan selendang yang dipakainya. Sejak saat itu, pikiran untuk menanyakan sebab kenapa Ibu mencintai selendang-selendangnya perlahan memudar karena Ainun tahu, Ibu tak akan memberikan jawaban.

Melihat selendang di genggamannya membuat Ainun muak. Dia ingin melenyapkan, membakar atau merobek selendang Ibu. Pernah beberapa kali dia mencobanya. Namun, saat korek api menyala, nyalinya ciut. Korek api padam dan selendang dirapikan. Parahnya, suatu hari dia hampir saja merobek selendang di hadapan Ibu. Saat ujung bibir gunting menyentuh bentangan selendang, Ibu diam dan memaksakan senyum getir pada bibirnya. Melihat wajah Ibu, lagi-lagi, Ainun mengurungkan melenyapkan selendang itu. 

Ainun menyandar pada kursi ruang tengah, lalu memandang jauh ke luar jendela di hadapannya. Di luar dia mengamati seorang wanita yang sedang hamil. Wanita itu terus mengelus perutnya dan seakan membisikkan suatu hal pada jabang bayi dalam rahimnya. Seketika, timbul tanya dalam benak Ainun, Apakah Ibu pernah membisikkan hal serupa padaku saat di dalam kandungan? Atau Ibu lebih memilih bercanda dengan selendangnya saat aku di dalam kandungannya? Lagi-lagi pertanyaan yang sepatutnya tak hadir menyeruak dalam benaknya.

Ainun sudah menunggu lama. Namun, Ibu tak kunjung pulang. Padahal hari ini tak hujan. Seharusnya Ibu bisa segera pulang, bukan asyik berkencan dengan selendangnya yang seolah sedang berkencan dengan kekasih. Ainun membayangkan Ibu sedang makan di restoran kesukaannya, berfoto dengan selendangnya, dan lainnya. Seakan-akan Ibu tak bisa hidup tanpa selendangnya dan ada atau tak ada Ainun tak akan mengubah sesuatu di kehidupan Ibu.

Bagi Ainun, Ibu terlihat berbeda dengan Ibu teman-temannya yang selalu mengajak anaknya pergi jalan-jalan bersama. Mungkin pernah. Tapi, Ainun tak ingat kapan terakhir Ibu mengajaknya jalan-jalan.

Ainun mengambil album foto yang disimpan di meja ruang tengah. Dia membuka satu persatu foto; foto-foto Ibu dan selendangnya. Dari sekian banyak foto, hanya ada satu foto yang berbeda. Foto Ayah dan Ibu saat hari pertunangan. Tak ada foto Ainun dalam album bahkan setiap sudut rumah. Melihat foto Ayah yang tersenyum memakaikan selendang pada Ibu, Ainun menjadi penasaran. Jika Ayahnya tahu, apakah Ayahnya tidak cemburu melihat Ibu mencintai selendangnya? Bahkan Ibu seolah sedang menyelingkuhi Ayah.

Ainun tak pernah mendengar sebuah kisah seorang wanita melahirkan selendang. Itulah sebabnya, Ainun akan menjauhkan pemikiran bahwa Ibu melahirkan selendang. Namun, Ainun tak suka melihat Ibu memperlakukan selendang seperti seorang anak. Seolah, Ainun adalah anak terlarang yang tak diinginkan oleh Ibu di dunia ini. Padahal, Ayah selalu senang akan kehadiran Ainun. Ayah selalu mengajaknya bermain. Tapi, sekarang Ainun kesepian, Ayah tak ada di rumah ditambah Ibu yang lebih suka keluar rumah.

Barangkali Ibu tak akan pulang, pikir Ainun setelah menunggu sangat lama. Ainun bergegas menyiapkan makan malam. Ainun tak ingin Ibu kelaparan saat pulang walaupun pikirnya di luar sana Ibu pasti sudah makan ditemani dengan selendangnya. Hal yang ingin dia lakukan jelaslah selalu bersama Ibunya, sama halnya dengan teman-temannya yang selalu memamerkan foto bersama Ibunya atau menceritakan kisah setelah pulang bermain dengan Ibunya.

Namun, dia pikir, Ibu tak berpikir sebaliknya. Kadang, Ainun tak kuasa hidup dengan suatu kondisi orang yang berharga baginya tak memedulikannya. Dia sempat berpikir untuk mati saja. Tapi, dia tak kuasa membayangkan rasa sakit saat malaikat mencabut nyawanya. Membayangkannya saja membuat bulu kuduknya merinding. Terlebih lagi, Ayah menitipkan Ibu selama dia tak ada di rumah pada Ainun, serupa menitipkan bayi yang tak bisa ditebak jalan pikirnya.

Ibu, ke mana saja kau pergi?" ujar Ainun saat tiba-tiba saja Ibu pulang sambil mengelus-elus selendangnya.

"Jalan-jalan."

Ibu mau makan? Aku sudah memasakkan makanan kesukaan Ibu." Ibu hanya memandang Ainun lalu memalingkan wajah dan meninggalkannya. Perkataan Ainun seolah tak terdengar oleh Ibu.

Ainun semakin merasa bahwa Ibu telah menjelma orang lain. Namun, dalam dasar hatinya, Ainun tak ingin mengkhianati bahwa di hadapannya berdiri wanita yang telah melahirkannya. Walaupun wanita itu akan mengkhianatinya, mati dengan selendangnya, kabur dari rumah, atau pun membuat Ainun hidup di jalanan. Ainun jatuh dan tersungkur ke lantai. "Aku merindukan Ayah!" ujarnya. Wajahnya seolah terkena badai musim hujan-basah.

***

Ainun terbangun dengan keadaan mata sembab dan kepalanya yang terasa berkunang-kunang. Setelah tubuhnya seimbang untuk berdiri, dia mencari Ibu. Pikirnya, Ibu akan kelaparan karena tadi telah berjalan-jalan di luar. Namun, melihat makanan yang dimasaknya masih sama seperti tadi, Ainun yakm kalau Ibu tidak memakan makanan yang dimasaknya. Dia bergegas ke kamar dan mendapati Ibu sedang duduk memandang cermin. Ainun berdiri di bibir pintu. Kamar Ibu berantakan. Pakaiannya berserakan pada kasur bahkan lantai. Ibu pun terlihat memakai pakaian terbaiknya dress merah bermotif bunga. 

Di depan cermin, Ibu memoleskan berbagai make-up miliknya. Bedak dioleskan pada wajahnya yang pucat pun gincu merah merona pada bibirnya. "Aku akan berdandan dengan cantik," ujar Ibu kemudian memakaikan selendangnya. 
"Ibu kau akan kemana?"
"Jangan berisik!" bentak Ibu.
"Ibu dengarkan aku."
"Kau menggangguku! Kau pengganggu."

Melihat Ibu berdandan sangat cantik, Ainun heran. Ibu semakin sering berdandan dan pergi malam setelah Ayah tak ada di rumah. Ibu pergi ke mana? Ibu akan jalan dengan siapa? Banyak tanya yang menyeruak pada Ainun yang bukan lagi pertanyaan, Ibu aku adalah anakmu, kan?

"Apakah Ibu menjadi penari?"
"Tentu saja, aku seorang penari."
"Sejak kapan?"
"Aku menari pada hati seorang lelaki. Sekarang, aku akan pergi berkencan. Suamiku sudah menungguku. Lihatlah, aku memakai selendang pemberiannya pada hari pertunangan kita," Ibu terkekeh.

Ainun kaget akan apa yang dikatakan oleh Ibu. Dia ingin memeluk Ibu. Namun, Ibu menepis tangannya, seakan selendang-selendang Ibu melilit tubuhnya, dada Ainun sesak. Ainun tak kuasa menahan berat badannya dan terkujur lemah di lantai.

Ibu diam sedang Ainun menangis kesakitan. Dalam sakitnya, Ainun sempat berpikir untuk berinkarnasi. Dia ingin menjadi sehelai selendang dan mengambil apa yang diambil selendang-selendang Ibu darinya.
"Ayah sudah meninggal, sadarlah Ibu," ujarnya lemah.
[Diyana Mareta Hermawati]
Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.
Follow Berita/Artikel Sumber Informasi di Google News