Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
iklan space 728x90px

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Telah Melahirkan Tokoh-tokoh Berpengaruh

Sumber-Informasi.com - Sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia tidak bisa dipisahkan dari mitos yang melingkupinya. Dalam peristiwa perjalanan sejarah bangsa Indonesia pun, keraton ini telah melahirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh, antara lain Pangeran Diponegoro dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Secara umum Keraton Yogyakarta merupakan bagian dari mata rantai kesinambungan pembangunan keraton-keraton di Jawa. Sehingga terdapat satu keterkaitan tipologis yang mengaitkan keraton Yogyakarta dengan tata fisik keraton Jawa sebelumnya. Bahkan pada skala yang lebih makro terdapat kaitan tipologis dengan istana-istana di Asia Tenggara dari kurun sebelumnya.


Kesamaan tipologi ini terjadi karena latar belakang persepsi kosmologi yang sama. Mewarisi tradisi Hindu tentang Jagad Purana yang berpusat pada suatu benua bundar Jambudwipa yang dikelilingi tujuh lapis daratan dan samudera. Pada benua terdapat gunung mahameru, tempat para dewa bersemayam. Untuk menjaga keselarasan jagad, maka lingkungan binaan pun disusun secara konsentrik, membentuk istana sebagai replika jagad tersebut.

Dalam tatanan ini kedudukan titik pusat sangatlah dominan sebagai penjaga kestabilan keseluruhan tatanan. Pada skala negara, tatanan memusat terwujud dalam kota yang berpusat pada Kuthagara yang dikelilingi Negara Agung, Mancanegara dan Pesisiran pada lingkaran terluar.

Dengan luas 1,3 km2, keraton dibagi menjadi tujuh bagian. Sesuai dengan anggapan yang diwarisi dari agama Hindu, bahwa angka tujuh merupakan angka yang sempurna. Hal ini sesuai dengan prinsip kosmologi Jawa, yaitu bahwa dunia terbagi dalam tiga lapisan. Yaitu dunia atas, tempat bersemayamnya para dewa dan supreme being. Dunia tengah tempat manusia. Dan dunia bawah yang mewakili kekuatan-kekuatan jahat di alam. Dari susunan ini, dunia atas dan bawah terbagi dalam tiga bagian, sehingga lapisan dunia inipun menjadi tujuh lapis.

Pembagian Keraton Yogyakarta menjadi tujuh bagian (seven steps to heaven), yaitu Alun-alun Utara sampai Siti Hinggil Utara (Lingkungan I); Keben atau Kemandhungan Utara (Lingkungan II); Sri Manganti (Lingkungan III); Pusat Kraton (Lingkungan IV); Kemagangan (Lingkungan V); Kemandhungan Kidul (Lingkungan VI); dan Alun-alun Selatan sampai Sitihinggil Selatan (Lingkungan VII).

Pada keraton-keraton dinasti Mataram, keberadaan pusat ini diwujudkan dalam Bangsal Purbayeksa/Prabusuyasa sebagai persemayaman pusaka kerajaan dan tempat tinggal resmi raja. Bangsal ini dilingkupi oleh pelataran kedathon yang selanjutnya dilingkupi oleh pelataran Kemagangan, Kemandhungan dan Alun-alun pada lingkup terluar.

Pola Konsentrik
Pada lapis terluar keraton terdapat alun-alun utara dan alun-alun selatan dengan segala atributnya, yang terdiri dari alun-alun utara dengan Masjid Agung. Pekapalan, Pagelaran dan Pasar yang membentuk Catur Gatara Tunggal. Alun-alun selatan dengan kandang gajah. Kepatihan sebagai prasarana birokrasi dan benteng sebagai prasarana militer.

Lapis kedua berupa dua Siti Hinggil (halaman yang ditinggikan), yaitu Siti Hinggil Utara dan Siti Hinggil Selatan. Pelataran ini berada baik pada sisi utara dan selatan. Siti Hinggil Utara, terdapat bangsal Witana dan bangsal Manguntur Tangkil, sebagai tempat Sultan mengadakan upacara kenegaraan. Siti Hinggil Selatan, dipergunakan untuk kepentingan Sultan yang lebih privat seperti menyaksikan latihan keprajuritan hingga adu macan atau banteng dengan manusia (rampogan). Siti Hinggil ini dilingkari oleh sebuah jalan yang diberi nama Supit Urang atau Pamengkang.

Pada lapis ketiga berupa pelataran Kemandhungan Utara dan pelataran Kemandhungan Selatan. Suatu ruang transisi menuju pusat pada pelataran Kemandhungan Utara terdapat bangsal Pancaniti dan di pelataran Kemandhungan Selatan terdapat bangsal Kemandhungan.

Lapis keempat adalah pelataran Sri Manganti dengan bangsal Sri Manganti yang merupakan ruang tunggu untuk menghadap raja. Bangsal Trajumas berada di sisi utara Pelataran Kemagangan, dan Bangsal Kemagangan berada di sisi selatan sebagai ruang transisi akhir sebelum ke pusat Istana. Pusat Konsentrik Pelataran Kedhaton, pusat konstelasi tata ruang di keraton pada tengah pelataran ini terdapat susunan tata bangunan Jawa pada umumnya yang terdiri dari Tratag, Pendhopo, Peringgitan, Dalem.

Setiap pelataran tersebut dilingkupi oleh benteng yang membentuk enclosure yang cukup kuat dan antar pelataran dihubungkan oleh sembilan gerbang, yaitu gerbang Pangurakan, Tarub Agung, Brajanala, Srimanganti,. Danapratapa, Kemagangan, Gadung Mlathi, Kemandhungan, dan gerbang Gadhing.

Simbolisasi angka sembilan dilihat dari jumlah pelataran dan jumlah gerbang karena memiliki arti simbolik kesempurnan sebagai alegori dari sembilan lubang yang ada pada manusia. Pembangunan keraton ini juga memiliki sumbu imajiner utara-selatan sebagai sumbu primer, dan sumbu barat-timur sebagai sumbu sekunder.

Tata ruang dan Kesakralan
Dalam kehidupan keraton, Sultan adalah figur sentral. Dianggap sebagai wakil Tuhan di Bumi. Pemegang kuasa militer dan keagamaan (Senapati Ingalaga Abdul Rakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah). Sehingga Sultan dianggap sakral. Begitu pula dengan semua kegiatan resmi Sultan. Sehingga kesakralan setiap ruang dapat diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan pada area tersebut.

Di Alun-alun, Pagelaran, maupun Siti Hinggil, Sultan hadir hanya tiga kali satu tahun, yaitu pada saat Pisowanan Ageng Grebeg Mulud, Sawal dan Besar. Serta kesempatan yang sangat insidental yang sangat khusus, misalnya pada saat Penobatan Sultan dan Penobatan Putra Mahkota/Pangeran Adipati Anom.

Kegiatan Sultan lebih intensif di Kemandhungan. Pada pelataran ini terdapat Bangsal Pancaniti yang secara harafiah berarti memeriksa lima. Di sini Sultan melakukan pengadilan khusus perkara yang ditangani Raja. Bangsal ini digunakan pula oleh sebagian Abdi Dalem menunggu untuk menghadap Raja.

Di pelataran Srimanganti pada tingkatan berikutnya, Sultan sering menerima tamu yang tidak terlalu formal dan semi formal. Di bangsal ini Sultan Hamengku Buwono II menulis dan membacakan buku kramat, Serat Suryaraja, di hadapan para punggawa.

Pelataran Kedaton merupakan pelataran yang paling dalam dan sakral. Di pusatnya terdapat rumah segala pusaka milik Keraton, Prabayeksa dan Bangsal Kencana tempat Sultan bertahta memerintah sepanjang tahun. Di tempat ini Sultan menerima tamu paling penting setara Residen dan Gubernur.

Jika waktu libur Anda masih cukup. Anda pun masih bisa mengunjungi objek wisata lain yang ada di sekitar Yogyakarta. Anda boleh memilih Kebun Binatang Gembira Loka, Candi Prambanan, Candi Borobudur, Pantai Parang Tritis, Pantai Baron, atau ke Kaliurang di kaki gunung Merapi. Silakan. [Disarikan: dari berbagai sumber]
Maman Soleman
Maman Soleman Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.
Follow Berita/Artikel Sumber Informasi di Google News