Cerita Pendek: Sahabat
Pernah punya sahabat yang tidak mau sekolah, padahal sebentar lagi mau ujian sekolah? Kalau punya, apa yang akan kalian lakukan?
Saya punya teman yang tidak mau sekolah, namanya Nizam. Beberapa bulan setelah naik kelas V, dia tidak mau sekolah karena malu. Malu tidak bisa menggambar lagi karena tangannya cedera setelah jatuh saat main futsal.
"Masih nggak mau ketemu kalian," kata Bunda Nizan saat saya dan Haikal mengunjungi rumahnya sepulang sekolah.
Saya hanya melihat Haikal lalu menyerahkan jeruk kesukaan Nizam. "Salam untuk Nizam ya Bun," kata saya sebelum pulang.
Ini yang kelima kalinya saya dan Haikal main ke rumah Nizam. Nizam kembali tidak mau bertemu.
"Kalau begini terus kasihan Nizam. Bisa-bisa nggak dapat melanjutkan sekolah," kata Haikal seusai latihan futsal. "Kita harus melakukan sesuatu," lanjutnya.
"Apa?" tanya saya.
"Nizam masih punya lukisan di kelas kita, kan?" kata Haikal.
Saya dan temen-temen mengangguk. Haikal kemudian menjelaskan rencananya pelan-pelan. Hanya saya, dan teman-teman kelas yang ikut futsal yang tahu.
"Kalau begitu kita harus izin Pak Hilman," usul saya beberapa saat kemudian.
"Boleh nggak, ya?" tanya Haikal.
"Mungkin boleh," kata saya.
Hari itu juga, saya dan teman-teman masuk ke ruang Pak Hilman, wali kelas kami. Saya dan teman-teman meminta lukisan Nizam yang ada di kelas. Siapa tahu, dengan lukisan tersebut Nizam jadi mau sekolah. Sudah hampir dua bulan Nizam tidak masuk sekolah.
"Kalian pilih salah satu lukisan Nizam yang terbaik, ya," pesan Pak Hilman setelah kami mengutarakan ide Haikal. Perkataan Pak Hilman membuat saya dan teman-teman merasa lega.
Saya dan teman-teman mengambil lukisan Nizam yang paling bagus. Lukisan seekor anak badak bercula satu yang sedang memeluk induknya. Lukisan yang selama ini membuat anak-anak di kelas makin mencintai ibu.
Satu bulan setelah lukisan itu kita kirimkan ke sebuah lomba, seusai istirahat Pak Hilman masuk kelas dengan membawa amplop besar warna cokelat.
"Coba apa yang bapak bawa?" tanya Pak Hilman membuat saya dan teman-teman sekelas bertanya-tanya. "Barusan ada surat dari panitia Lomba Lukis Satwa Langka yang pernah kalian kirimkan," sambungnya.
Saya dan Haikal langsung saling pandang. Dada saya rasanya berdebar sangat kencang. Apa Nizam mendapat juara? Kalau keluar sebagai juara, dapat juara berapa?
Pak Hilman kemudian membacakan surat dari panitia lomba. Nizam mendapat Juara I Lomba Lukis Satwa Langka untuk kategori anak-anak di bawah usia 12 tahun.
"Alhamdulillah..." semua teman-teman di kelas mengucap hamdalah lalu bersorak senang.
"Pulang sekolah kita bareng-bareng ke rumah Nizam untuk menyerahkan ini. Minggu depan Nizam ke Jakarta untuk menerima trofi dan hadiah lomba," ujar Pak Hilman setelah suasana kelas kembali tenang.
Pulang sekolah semua ikut ke rumah Nizam. Seperti biasa, Nizam tidak mau bertemu. Dia malu karena sudah tidak bisa melukis lagi karena tangannya masih cedera. Padahal tangannya sudah diobati. Saya dan teman-teman kecewa, tapi mau bagaimana lagi? Akhirnya Pak Hilman menyerahkan amplop kepada Bunda Nizam. Setelah itu, Pak Hilman dan teman-teman sekelas akhirnya masuk ke mobil sekolah. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara Nizam.
"Teman-teman! Terima kasih! Maafkan aku!"
Saya dan Haikal yang masuk mobil terakhir langsung menengok ke belakang. Di depan rumah Nizam melambaikan tangan. Saya lihat wajahnya senang dan matanya berkaca-kaca. Saya dan Haikal langsung berlari dan memeluk Nizam.
"Maafkan aku ...,” ucap Nizam. "Mulai besok aku mau sekolah. Aku pasti bisa bikin lukisan lagi setelah cedera tanganku sembuh,” lanjutnya.
Saya dan Haikal hanya mengangguk. Pak Hilman dan teman-teman sekelas langsung ikut memeluk Nizam, sahabat saya yang jago melukis dan futsal. [Cerita Pendek Fairy Shaliha]