Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
iklan space 728x90px

Cerita Pendek : Melukis Bintang

Langkah seorang siswa SMP menderap tegap di atas jalanan kering dan berdebu akibat kemarau yang berkepanjangan. Sepatu yang memiliki banyak ventilasi dan sudah tidak layak itu, selalu menemani menuju ke sekolah. Si empunya sepatu tidak pernah menghiraukan apalagi harus menggubris ocehan orang, telinganya seakan tuli saat teman-teman memperoloknya.

Pak Rehan adalah salah satu guru yang sangat tidak menyukai penampilan Adi, tetapi Adi tidak oleh Pak Rehan. Adi tetap menyukai pelajaran matematika yang diajarkan beliau.

"Siap, beri Salam!" ujar Gilang memberi komando ketika Pak Rehan berada di kelas. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam, terima kasih. Silakan buka bukunya! Sebelum Bapak melanjutkan materi berikutnya, mari kita bahas 5 soal latihan yang ada di halaman 45. Siapa yang mau mengerjakan lebih dulu silakan ke depan!" ujar Pak Rehan.

"Saya, Pak!" kata Adi seraya mengacungkan tangan.
"Kamu bisa?" tanya Pak Rehan seolah menyangsikan kemampuannya. "Bisa, Pak!" jawab Adi antusias sekali. "Kamu nanti saja ya, Adi! Sekarang Bapak kasih kesempatan kepada Robi terlebih dahulu!" ujar Pak Rehan seraya menoleh ke arah Robi.

Robi memang selalu menjadi murid kesayangan Pak Rehan karena selain pintar, penampilannya sangat bersih juga memiliki wajah yang tampan. Meski kumal dan kurang bersih, Adi tidak kalah pintar jika dibandingkan dengan Robi.

"Baik, Pak!" seru Robi seraya beranjak dan menuju ke depan untuk mengerjakan satu soal. 
"Kamu memang anak yang pintar, Robi! Jawaban kamu tepat sekali!" ujar Pak Rehan sambil mengacungkan kedua jempolnya.

"Selanjutnya siapa lagi yang bisa mengerjakan soal nomor berikutnya?" seru Pak Rehan.
"Saya boleh, Pak?" Lagi-lagi Adi mengangkat tangan, tetapi selain Adi, Mita juga ternyata mengangkat tangan.
"Oh... Mita, kamu bisa mengerjakan soal nomor 2? Silakan ke depan!" ujar Pak Rehan tanpa memedulikan Adi yang juga mengangkat tangannya sedari tadi. Mita segera maju dan mengerjakan soal berikutnya.

"Bagus Mita, kamu juga anak yang pintar," ujar Pak Rehan seraya mengacungkan kedua jempolnya lagi untuk Mita. Tinggal satu soal nomor 5 yang tersisa.
"Sekarang siapa yang bisa mengerjakan soal nomor 5?" tanya Pak Rehan. Sesaat suasana di kelas menjadi hening, tidak ada seorang murid pun yang mengangkat tangan. Mungkin karena soal nomor 5 itu adalah soal yang dirasa cukup sulit.

"Enggak ada yang berani? Memang soal nomor 5 ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Kalau tidak ada yang bersedia Bapak akan tunjuk salah satu dari kalian untuk maju ke depan. Kalau seandainya benar, Bapak akan kasih hadiah. Tetapi kalau salah, ada hukumannya. Kalian siap?" tanya Pak Rehan

"Kamu maju Adi! Kerjakan soal itu ke depan!" ujar Pak Rehan seraya menoleh dan menunjuk Adi untuk ke depan.
"Baik, Pak!" jawab Adi tanpa berpikir lama. Adi langsung berdiri dan maju untuk mengerjakan soal itu. "Kamu pasti engga bisa mengerjakan soal itu Adi! Soal itu sangat sulit. Aku yakin kamu pasti tidak akan bisa mengerjakannya!” gumam Pak Rehan.

"Subhanallah," ternyata Adi mampu mengerjakan soal itu dengan baik. Perkiraan Pak Rehan meleset 180 derajat.

"Sudah, Pak!" ujar Adi seraya menoleh ke arah Pak Rehan. Padahal selama ini dia selalu underestimate padanya.

"Ya udah, bagus!" jawab Pak Rehan. Kali ini pujian untuk Adi tidak dibarengi dengan acungan jempol. Mungkin karena penampilannya yang lusuh? Atau karena Adi anak seorang tukang bengkel? Atau apa?

"Berarti Adi dapat hadiah dong, Pak?" spontan Mita bertanya pada Pak Rehan. "Iya," jawab Pak Rehan singkat sekali.
*****
Hampir di sepanjang jalan debu-debu itu berhamburan menerpa sebagian tubuh Adi yang berkeringat karena tanah mengering akibat kemarau yang berkepanjangan. Di tengah perjalanan pulang, Adi melihat Pak Rehan. Ya, Pak Rehan! Rupanya motor beliau mogok. Pak Rehan sedang berusaha memperbaiki, badannya terlihat berpeluh.

"Assalamualaikum! Motornya kenapa, Pak?" tanya Adi dengan sopan. Namun, ia tidak berani mencium tangan Pak Rehan karena seluruh badannya nyaris basah oleh keringat, Adi khawatir kalau Pak Rehan merasa jijik padanya.

"Waalaikumsalam. Kamu, Di? Motor Bapak mogok, entahlah kenapa?" jawab Pak Rehan seraya menyeka keringat yang mengucur deras di wajahnya.

"Kalau diizinkan oleh Bapak, saya bantu memperbaiki motornya, Pak!" ujar Adi. "Emang kamu bisa?" tanya Pak Rehan.

"Saya coba ya, Pak! Bapak bawa peralatan motornya?" tanya Adi.

"Bawa," jawab Pak Rehan segera membuka bagasi motor.

"Terima kasih, saya coba ya, Pak! Bapak bisa tunggu di tempat yang teduh!"
"Hmm."

Adi mulai mengotak-atik motor yang mogok itu, tidak sampai setengah jam terdengar motor itu di starter, motor itu pun hidup bahkan suaranya terdengar lebih halus. "Maaf, Pak! Motornya sudah selesai," kata Adi dengan sopan.

Sementara itu, Pak Rehan hanya tercenung melihat kejadian itu. Hatinya terenyuh melihat seorang siswa yang selama ini tidak disukai berhasil memperbaiki motornya. "Ya, Allah ternyata aku sudah salah menilai seorang siswa. Meski segumpal awan menghalangi kerlip sinarnya, dia tidak pernah membenci awan itu. Bintang itu tetap menunjukkan kemilaunya karena bintang itu tahu bahwa dirinya bintang gemintang," gumam Pak Rehan.

"Iya, terima kasih, Di!" ujar Pak Rehan seraya menghampiri motor.
"Sama-sama, Pak. Mohon maaf saya permisi, Pak! Dan mohon maaf juga saya tidak berani mencium tangan Bapak, saya kotor, bau, dan berkeringat nanti Bapak jijik!" ujar Adi seraya melengos pergi.

"Adi!" ujar Pak Rehan seraya menghambur ke arah Adi dan memeluk tubuh anak itu erat sekali. Adi berusaha melepaskan diri dari pelukan itu, dia sangat khawatir gurunya tambah membencinya.
"Maaf, Pak! Badan saya kotor, bau, berkeringat, nanti Bapak tambah membenci saya!" kata Adi seraya terus meronta.
"Adi! Jangan ngomong seperti itu, Nak. Bapak minta maaf selama ini sudah berlaku tidak adil padamu!" ujar Pak Rehan
"Enggak apa-apa, Pak! Saya tidak marah ke Bapak kok!" jawab Adi seraya menjauh begitu Pak Rehan melepaskan pelukan.

"Saya permisi, Pak" ujar Adi segera melanjutkan perjalanan pulang.
"Adi, tunggu!" seru Pak Rehan seraya menyodorkan 2 lembar uang kertas berwarna merah.
"Maaf, Pak! Ini apa ya?" tanya Adi keheranan.
"Anggap saja ini hadiah yang Bapak janjikan!" kata Pak Rehan dengan suara sedikit memarau. Ada seonggok rasa sesal bergelayut di hatinya saat itu, memandang sesosok anak yang telah ia perlakukan sangat tidak adil.

"Maafkan saya, Pak, bukan maksud hati menolak kebaikan Bapak. Sebenarnya saya mengerjakan soal itu bukan karena ada hadiahnya. Tetapi mendapatkan pengakuan dari Bapak saja sangat membahagiakan melebihi apa pun. Saya memang berbeda dengan Robi dan yang lain, mereka memiliki segalanya, baik materi maupun kepintaran. Tetapi saya hanyalah seorang anak tukang bengkel, seorang siswa yang tidak memiliki keistimewaan apa-apa. Hari ini teristimewa karena pengakuan itu saya rasakan. "Terima kasih banyak, Pak!" ujar Adi panjang lebar.

"Adi....ungkapan itu begitu menyayat hati Bapak. Sekali lagi Bapak mohon maaf atas kelakuan Bapak selama ini. Bapak akan melukis bintang di hatimu," ujar Pak Rehan. Suaranya begitu lirih tertahan keharuan hati yang begitu mendalam. [Agus Nurjaman]

Maman Malmsteen
Maman Malmsteen Aktif menulis sejak tahun 1986 di media massa. Menjadi announcer di Radio Fantasy 93,1 FM sejak tahun 1999. Menjadi Blogger sejak tahun 2010. Sekarang aktif sebagai Content Writer untuk beberapa Blog/Website.
Follow Berita/Artikel Sumber Informasi di Google News